Sejarah Singkat Keluarga Tirtasentana

Ditulis oleh: mastomo1956@gmail.com

Tanpa terasa sudah hampir satu setengah abad, seratus tiga puluh enam (136) tahun usia kelahiran Ki Tirtasentana (1873 – 1940), yang nama lengkapnya adalah Tirtasentana Ratiman bin Dipaseca. Ki Tirtasentana adalah putra ke 4 dari 5 bersaudara. Berturut-turut, saudara kandung dari Ki Tirtasentana adalah sebagai berikut:

0.1. Ki. CADIPA
0.2. Ki. WIRAWIJAYA
0.3. Ki. DIPAWIJAYA
0.4. Ki. TIRTASENTANA Ratiman, Kembangan 1873 – 1940 [67]
0.5. Nyi. TIRTADIPA

Ki Tirtasentana adalah menantu dari Ki Djayadi Wangsa (1835 – 1918, [83]) yang dinikahkan dengan anak ke 4 beliau yang bernama Rasiyah(1879 – 1948). Nyi Rasiyah sendiri adalah anak ke 4 dari 6 bersaudara.

0.1. Nyi. KATIPAH Martawi, Wirasaba 1934
0.2. Nyi. KASINAH Karjasemita, Wirasaba 1860 – 1954 [94]
0.3. Ki. MARTAWIJAYA, Kembangan 1938
0.4. Nyi. RASIYAH Tirtasentana, Kembangan 1879 – 1948 [69]
0.5. Nyi. WIYEM, Wirasaba 1912
0.6. Ki. WARIS JAYATARUNA

Dari pernikahannya, pasangan Ki Tirtasentana dengan Nyi Rasiyah menurunkan 13 (tiga belas) orang anak, 5 laki-laki dan 8 perempuan dan 51 (limapuluh satu) orang cucu. Ketigabelas anaknya adalah sebagai berikut:

0.4.1 Bayinah
0.4.2 Nyamat Tirtoatmojo
0.4.3 Nyaman Tirtowinoto, Ir.
0.4.4 Maria Karisah, Kembangan 1980
0.4.5 Sukinah (Mbah Leman)
0.4.6 Sudarman
0.4.7 Darsiyem (Mbah Senon)
0.4.8 Darsian Tirtohadisuwarno
0.4.9 Marsini (Mbah Sukar)
0.4.10 Marsilah , meninggal saat masih kecil
0.4.11 Monica Sudimah (Mbah Dimah), Blater 1987
0.4.12 Dariman, Dr. Med
0.4.13 Soedijah (Mbah Diyah), Gumelem 2006
RIWAYAT KI TIRTASENTANA

Sekelumit cerita tentang Ki Djayadiwangsa, beliau adalah seorang pedagang dan petani sukses di Wirasaba. Kebiasaan unik dari Ki Djayadiwangsa adalah kesukaannya angon (menggembala) anak cucu pergi (dengan membawa cambuk) ke pasar membeli apa saja sesukanya mereka. Selain itu juga suka bermeditasi di atas sungai kecil sebelah selatan makam Wirasaba dengan cara jongkok pada sebatang bambu menahan rasa kantuk bila mengantuk jatuh tercebur ke sungai lalu diulangi lagi hingga berhari -hari dan bermeditasi duduk di atas tampir (tampah) besar, konon kabarnya, selama seratus hari tidak makan dan minum. Setelah seratus hari dipindah ke pembaringan kemudian pertama–tama diasapi dengan nasi liwet, hari berikutnya diberi air tajin (air tanakan nasi), hari berikutnya lagi diberi bubur halus, hari berikutnya lagi diberi nasi tim dan setelah itu baru nasi.

Pada zaman pemerintahan kolonial Balanda Ki. JAYADI WANGSA (Putera Ki. SUMUYUT / makamnya di Kuncen sendirian jauh dari makam umum di bawah pohon bambu hanya ditandai dengan paving blok, cucu Adipati Wirasaba 2) dibuatkan sebuah rel kereta api di sebelah selatan jalur rel utama jurusan Purwokerto - Purbalingga - Wonosobo khusus buat mengangkut hasil bumi untuk dikirim keseluruh kota di Pulau Jawa. (diedit oleh: gatot.susatijo@gmail.com)